Menggugat Poligami Menggugat Syariat Islam
(Agenda di balik Opini Poligami)
Oleh: Tamyis Sa’ad
“Presiden mempunyai kepedulian besar terhadap kaum perempuan dan ia menginginkan ketentraman dalam masyarakat,”,
“Presiden mempunyai kepedulian besar terhadap kaum perempuan dan ia menginginkan ketentraman dalam masyarakat,”, kata Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta usai dipanggil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dan Dirjen Binmas Islam Nazzarudin Umar selasa 5 Desember 2006. Pada kesempatan itu, Yudhoyono meminta agar cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 yang sudah direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami diperluas tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil)tetapi juga pada pejabat negara dan pejabat pemerintah. Pernyataan itu adalah respon Presiden atas keputusan Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa Aa Gym untuk berpoligami. Di kesempatan lain Meutia Hatta mengatakan :”Presiden mempunyai moral obligation (terikat secara moral) buat memperhatikan masyarakatnya,”
Pernyataan Presiden tersebut sekilas menampakkan kepeduliannya terhadap kondisi moral masyarakat. Namun apakah benar demikian?lebih jauh lagi mengapa opini tentang poligami demikian dahsyat? melebihi opini bencana lumpur lapindo?lagi-lagi kita bertanya mengapa respon presiden terhadap kasus lapindo yang masih berlangsug saat ini tidak sebagaimana respon terhadap poligami? Mengapa?
Banyak Yang Tidak Wajar
Respon terhadap poligaminya Abdullah Gymnastiar mubaligh idola para ibu ini bukan hanya muncul dari para ibu, namun opini ini telah menjadi perbincangan dimana-mana, sekolah, kampus, kantor-kantor, sampai istana kepresidenanpun membahasnya. Padahal poligami sudah ada sejak adanya manusia ada, beda dengan kasus korban lumpur lapindo yang tidak pernah ada jaman Nabi Sulaiman yang istrinya 100, jaman Hamzah Haz yang istrinya 3. Kalau dahulu masyarakat ramai membicarakan bencana tsunami di Aceh itu hal wajar, karena peristiwa itu merupakan hal baru, demikian pula kasus lapido dan kasus-kasus baru lainya. Tidak berlebihan kalau kita katakan respon terhadap masalah poligami saat ini adalah di luar batas kewajaran, setiap ketidakwajaran pasti ada sebab dibalik itu.
Apalagi kalau kita perhatikan pernyataan presiden di atas, permintaan agar cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 yang sudah direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami diperluas tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga pada pejabat negara dan pejabat pemerintah katanya merupakan bentuk kepedulian sang presiden terhadap moral masyarakatnya. Keputusan itu juga di dasari karena banyaknya sms yang masuk ke ponsel SBY dan Istrinya selama sepekan setelah “proklamsi” Aa Gym tentang poligaminya. Meskipun kita juga tidak pernah tahu berapa banyak sms yang masuk seribu? seratus ribu? dan memang tidak ada perlunya untuk tahu. Pertanyaanya apakah hanya karena banyaknya sms masuk kemudian presiden sampai harus memerintahkan merevisi UU. Jika alasan ini benar, apa pertimbangan presiden terhadap pendapat yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh masyarakat seperti:
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi misalnya menyatakan, poligami sebaiknya tidak diatur dalam sebuah peraturan atau perundang- undangan. Menurutnya, poligami adalah masalah pribadi seseorang sehingga tidak layak jika harus diurusi pemerintah.
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, wacana poligami tidak perlu dikembangkan karena hanya akan membawa masyarakat pada perdebatan yang tidak perlu. Dia menyesalkan jika persoalan ini ditarik ke tataran politik atau kebijakan negara karena bisa kontraproduktif dalam upaya membangkitkan bangsa dari keterpurukan.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Effendy Choirie mengingatkan agar jangan sampai ada peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan pemerintah, yang melanggar ketentuan agama. “Jadi, kalau pun mau direvisi, jangan sampai kesannya melarang poligami. Soalnya, Islam memperbolehkan poligami,” ujarnya.
Wakil Ketua MPR AM Fatwa. Menurutnya, persoalan poligami harus dilihat pemerintah secara jernih dan objektif. “Jangan sampai pemerintah mengajari masyarakat untuk munafik dari hukum Allah,” tuturnya. Poligami, katanya, mungkin bisa menjadi salah satu jawaban atas berbagai permasalahan sosial yang kini dihadapi. “Kita harus berpikiran terbuka,” ujarnya.
Aisyah Baidlowi dari FPG mengakui bahwa poligami memang bisa menjadi jalan keluar darurat di tengah maraknya praktik perselingkuhan. “Dari sudut pandang itu, mungkin benar,” katanya. Tetapi, menurut dia, tetap harus ada sisi-sisi lain yang dipertimbangkan, yaitu keadilan bagi keluarga secara keseluruhan. “Perlu benar-benar dipahami, yang dimaksud adil itu bagaimana,” tandasnya.
Politikus Golkar Ferry Mursyidan Baldan menyampaikan bahwa poligami dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia bukanlah fenomena baru. “Tak masalah kalau praktik poligami mau diatur negara, tapi jangan menjadi seperti dilarang,” ujarnya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Al Muzammil Yusuf khawatir, jika poligami dilarang, justru akan menyemarakkan perzinaan. “Dia bukan diwajibkan, tetapi boleh. Artinya tidak harus, tetapi tidak juga dilarang. Tetapi ada prasyarat adil. Adil inilah yang perlu kita bahasakan lebih jelas. Adil dalam konteks masyarakat dimana hak wanita juga teperhatikan.”
Anggota Komisi III DPR (bidang hukum) Patrialis Akbar, poligami justru melindungi hak-hak wanita. ”Jika poligami dilarang maka mereka akan menikah sirri (diam-diam). Istrinya jadi istri simpanan yang hak-haknya tidak dijamin. Jika poligami tidak dilarang, hak-hak perempuan dan anak-anaknya akan terjamin,” tandas anggota Fraksi Partai Amanat Nasional itu.
Yoyoh Yusroh dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, agama Islam membolehkan poligami agar umatnya terhindar dari praktek perzinaan. Karenanya, ia tak keberatan andai suaminya memutuskan untuk berpoligami. Karena poligami justru memuliakan hak perempuan dan anak-anaknya, sedangkan perzinaan merupakan penghinaan terhadap perempuan.
Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq, meminta Presiden SBY untuk membuka mata hatinya, sehingga tahu mana yang seharusnya dilakukan.
“Pak Presiden jangan buta hatinya. Yang perlu dilarang dan diberantas adalah pelacuran dan perselingkuhan, bukan poligami. Perzinaan itu harus dihukum berat, bila perlu dirajam,” demikian kata Habib Rizieq.
“Dalam Islam halal menikahi dua, tiga atau empat perempuan. Kalau sampai Pemerintah melarang poligami, apa SBY mau jadi Fir’aun yang berani menentang Allah?” tantang Habib Rizieq.
Kekecewaan yang dialami Habib juga dirasakan tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lukman Hakiem. Zina yang haram difasilitasi Pemerintah, sedangkan poligami yang halal dikriminalisasi, “ujarnya dikutip koran Duta.
Suara pendukung poligami yang cukup menarik datang dari Ketua Pengurus PBNU, Masdar Farid Mas’udi.
Meski dikenal sebagai tokoh pendukung pemikiran liberal ini, dalam hal poligami ia berpendapat bahwa poligami adalah sesuatu yang natural alias alami sebagai penyeimbang banyaknya supply (jumlah perempuan yang ingin menikah) dengan demand (lelaki yang mampu menjadi suami).
“Jumlah perempuan selalu lebih besar dibanding lelaki yang layak menjadi suami. Poligami akan memperkecil ketidakseimbangan itu, “ ujar Masdar.
Lalu bagaimana dengan kasus demo RUU APP yang nyata ikuti oleh lebih dari 1,2 juta orang, apa yang dilakukan SBY? Atau Demo penolakan kedatangan G.W. Bush yang hampir seluruh masyarakat menolak, apa yang dilakukan SBY? Jangankan merubah UU terpikirkan aja tidak. Ada apa sebenarnya dibalik itu semua?
Beberapa komentar yang bisa kita berikan terhadap fakta di atas adalah sebagai berikut:
1. Pandangan syara’
1.1 Hukum tentang kebolehan poligami.
Secara syar’i hukum kebolehan poligami sebenarnya sudah final. Ulama-ulama salaf tidak ada yang berselisih dalam hal ini. Kalaupun ada hanya seputar adil jadi syarat atau tidak jika syarat adil dalam hal apa yang harus dipenuhi bukan dalam hal boleh atau tidaknya poligami. Penolakan terhadap kebolehan poligami baru terjadi pada cendikiawan akhir yang dikenal pendukung paham leberal seperti Muhammad Abduh, Abduh mengatakan dengan tegas poligami haram qath’i karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia. (lihat Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al-Manâr, Dâr al-Fikr, tt, jilid IV, hlm 347-350). Pernyataan Abduh kembali ditegaskan dalam fatwanya tentang hukum poligami yang dimuat di majalah al-Manâr edisi 3 Maret 1927/29 Sya’ban 1345, Juz I, jilid XXVIII, yaitu poligami hukumnya haram. Adapun QS. 4:3 bukan menganjurkan poligami, tetapi justru sebaliknya harus dihindari (wa laysa fî zâlika targhîb fî al-ta’dîd bal fîhi tabghîd lahu). Mantan Syeikh Al-Azhar ini menjelaskan tiga alasan haramnya poligami. Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain.
Semua alasan itu adalah lemah, pertama, Adil tidak menjadi syarat kebolehan poligami. Surat an Nisa’ ayat 3:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(TQS. an Nisa’ : 3)
Memang, dalam lanjutan kalimat pada ayat di atas terdapat ungkapan: Kemudian jika kalian khawatir tidak akan berlaku adil, nikahilah seorang saja. Artinya, jika seorang pria khawatir untuk tidak dapat berlaku adil (dengan beristri lebih dari satu), Islam menganjurkan untuk menikah hanya dengan seorang wanita saja sekaligus meninggalkan upaya untuk menghimpun lebih dari seorang wanita. Jika ia lebih suka memilih seorang wanita, itu adalah pilihan yang paling dekat untuk tidak berlaku aniaya atau curang. Inilah makna dari kalimat: yang demikian adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
Namun demikian, secara mutlak, keadilan bukanlah syarat kebolehan berpoligami. Hal ini tergambar dalam ungkapan ayat: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Ayat ini mengandung pengertian mengenai kebolehan berpoligami secara mutlak. Kalimat tersebut telah selesai sebagai sebuah kalimat sempurna. Kalimat itu kemudian dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: Kemudian jika kalian khawatir…..Kalimat ini bukan syarat, karena tidak bergabung dengan—atau merupakan bagian dari—kalimat sebelumnya, tetapi sekadar kalam mustanif (kalimat lanjutan). Seandainya keadilan menjadi syarat, pastilah akan dikatakan seperti ini: Fankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a in adaltum (Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat asalkan/jika kalian dapat berlaku adil)—sebagai suatu kalimat yang satu. Akan tetapi, hal yang demikian, tidak ada, sehingga aspek keadilan secara pasti bukanlah syarat diperbolehkan poligami. Artinya, perkara ini merupakan hukum syariat yang berbeda dengan hukum syariat yang pertama. Yang pertama adalah bolehnya berpoligami sampai batas empat orang, kemudian muncul hukum yang kedua, yaitu lebih disukai untuk memilih salah satu saja jika dengan berpoligami ada kekhawatiran pada seorang suami tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Kedua, alasan kedua yang disamapaikan Abduh bukanlah dalil namaun hanya fakta, dan fakta dalam hukum Islam tidak dapat dijadikan dalil. Namun menjadi sesuatu yang harus dihukumi. Fakta yang diberikan Abduh tidak dapat dijadikan alasan, karena kita juga banyak menemukan para suami yang dapat memberikan perlakuan baik pada istrinya yang lebih dari satu.
Ketiga, alasan ketiga sama dengan alasan kedua, bantahan untuk alasan ini di sini cukup saya berikan jawaban anak (Dr. Abdurahman Riesdam Efendi -yang memiliki 4 orang istri- dan Dr. Gina Puspita) yang berumur 10 tahun ketika diwawancarai sebuah majalah tentang bapaknya yang poligami atau ibunya yang banyak. Dia mengatakan, begitu senang memiliki ibu banyak. Banyak tapi sayang.
1.2 Masalah Keadilan
Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’ di antara para istrinya. Yang wajib bagi dia memberikan giliran kepada istri-istrinya secara adil.
TQS. an Nisa’:129
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa manusia tidak akan sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwat, dan jima’. Ayat ini turun pada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat mencintainya melebihi istri-istri yang lain. Sebagaimana hadits:
عن عائشة رضى الله عنها قالت , كان رسول الله ص يقسم فيعدل ويقول: اللهم هذا قسمى فيما املك فلا تلمني فيما تملك ولا املك. قال ابو ذاوود: يعنى اقلب.
Daripada Aisyah r.a telah berkata: Sesungguhnya Rasulullah S.A.W membahagikan giliran sesama isterinya dengan adil dan baginda berdoa: “ Ya Allah! Ini bahagian aku yang dapat aku laksanakan kerana itu janganlah Engkau cela aku tentang apa-apa yang Engkau kuasai sedangkan akut tidak menguasainya “. Berkata Abu Daud : maksudnya ialah ‘hati’.
Muhammad bin Sirrin pernah menanyakan ayat tersebut kepada Ubaidah, dan dijawab bahwa maksud surat An Nisaa’ ayat 29 tersebut dalam masalah cinta dan bersetubuh. Abu Bakar bin Arabiy menyatakan bahwa adil dalam masalah cinta diluar kesanggupan seseorang. Cinta merupakan anugerah dari Allah dan berada dalam tangan-Nya, begitu juga dengan bersetubuh, terkadang bergairah dengan istri yang satu namun terkadang tidak. Hal ini diperbolehkan asal bukan disengaja, sebab berada diluar kemampuan seseorang.
Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan cinta diantara istri-istrinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat dikuasai. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha merupakan istri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri dalam masalah jima’ karena jima’ terjadi karena adanya cinta dan kecondongan. Dan perkara cinta berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang membolak-balikkan hati. Jika seorang suami meninggalkan jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut dimaafkan. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bila dimungkinkan untuk menyamakan dalam masalah jima, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan lebih mendekati sikap adil.
Penulis Fiqh Sunnah menyarankan; meskipun demikian, hendaknya seoarang suami memenuhi kebutuhan jima istrinya sesuai kadar kemampuannya.
Imam al Jashshaash rahimahullah dalam Ahkam Al Qur’an menyatakan bahwa, “Dijadikan sebagian hak istri adalah menyembunyikan perasaan lebih mencintai salah satu istri terhadap istri yang lain.”
Namun perlu saya tegaskan, hukum poligami adalah mubah bukan sunnah/mandub apalagi wajib. Sehingga kita bisa menyikapi secara arif tentang poligami ini, tidak menjadikan poligami sebagai ukuran ketaqwaan seseorang yaitu orang yang berpoligami tidak otomatis lebih taqwa dari orang yang tidak berpoligami. Dan Islam membolehkan poligami ini adalah sebagai salah satu solusi dan tidak lebih dari itu. Karena tidak dapat kita pungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus; kadang-kadang ditimpa oleh cobaan atau ujian. Pada umumnya, sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera diberikan momongan oleh Allah Swt. Akan tetapi, kadang-kadang ada suatu keadaan ketika sang istri tidak dapat melahirkan anak, sementara sang suami sangat menginginkannya. Pada saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Adapula keadaan ketika seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami sangat menyayanginya, ia tetap ingin merawat istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Akan tetapi, di sisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat melayaninya.
Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa di dunia ini ada sebagian lelaki yang tidak cukup hanya dengan satu istri (maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan lelaki pada umumnya). Jika ia hanya menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Lebih dari itu, fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan; baik karena terjadinya banyak peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih banyak daripada lelaki.
Nah, dari berbagai fakta yang tidak dapat dipungkiri di atas, yang merupakan bagian dari permasalahan umat manusia, kita dapat membayangkan, seandainya pintu poligami ini ditutup maka justru kerusakanlah yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dari sini dapat dipahami, bahwa poligami sebetulnya dapat dijadikan sebagai salah satu solusi atas sejumlah problem di atas
2. Pandangan Feminis
Bagi kalangan feminis bolehnya poligami tidak pernah ada dalam benak mereka. Jangankan poligami, monogami kalau bisa mereka tolak. Karena bagi merekauntuk memenuhi kebutuhan seksual yang paling efektif dan efisien bagi mereka adalah dengan sek bebas. Sesuai program mereka “Empowerment of Women” yang di Indonesia dikenal “Pemberdayaan Perempuan” hasil Konferensi Internasioal Kependudukan dan Pembangunan (International Conference On Population and Development-ICPD) tahun 1994 di Kairo, yang menekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum perempuan di bidang ekonomi, sehingga perempuan tidak perlu tergantung pada kaum laki-laki (suami).
Kemandirian perempuan dalam ekonomi sekaligus dukungan trhadap kesehatan reproduksinya, secara bertahap akan membuat perempuan tidak lagi mementingkan institusi keluarga. Di negara-negara pelopor kebebasan perempuan seperti Amerika , single parent banyak menjadi pilihan (menjadi tren) para perempuan yang berkarir. Jangankan poligami pernikahan tidak lagi peting. Sek bebas menjadi solusi hak reproduksi perempuan.
3. Pandangan Politis
Dengan memperhatikan pernyataan presiden yang diawali oleh tanggapan masyarakat, serta opini dihampir seluruh media massa, kita dapat melihat masalah poligami ini dari beberapa segi:
Pertama, stanrdar moral. Ketika majalah Playboy versi Indonesia terbit, berbagai tayangan pornoaksi dan kekerasan marak sekali di TV-TV dalam program film, sinetron, dan hiburan namun pemerintah tidak merespon sebagaimana poligami mengapa? Kalau SBY berhujjah punya “moral obligation” (tanggung jawab moral) untuk menyikapi poligami Aa Gym, kemana tanggung jawab moral SBY menanggapi itu semua? Dari sini kita bisa melihat bahwa ppemerintah tidak mempunyai standar moral yang jelas untuk menyikapi segala peristiwa. Mengapa reaksi pemerintah terhadap poligami (yang halal) tidak seheboh kasus zina (yang haram)? Jadi, standar moral pemerintah memang tidak jelas. Atau jangan-jangan, bukan lagi tidak jelas, tapi tidak ada.
Kedua, pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan rakyat. Besarnya penolakan kedatangan Bush di Indonesia sebelumnya, sungguh telah merepotkan pemerintah. Sampai pemerintah perlu melakukan penyesatan opini dan penyesatan politik. Terkait dengan penyesatan opini, misalnya, mereka mengatakan bahwa Islam menghormati tamu, dan tidaklah seseorang di antara kalian beriman, hingga menghormati tamunya. Yang lain lagi mengatakan, bahwa Nabi Saw. pernah menerima Abu Jahal dan Abu Lahab di rumahnya, padahal keduanya adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap Beliau dan agama yang Beliau bawa. Sementara Bush, kalau kejahatannya dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh Abu Jahal dan Abu Lahab masih belum ada apa-apanya! Adapun penyesatan politik, mereka katakan bahwa kunjungan Bush sebenarnya membawa manfaat bagi rakyat dan negeri ini; dalam rangka membuka investasi asing dan kerjasama bilateral di bidang kesehatan dan pendidikan, melalui kunjungan dan dampak dari kunjungan Bush tersebut. Dalam kasus Bush ini pemerintah hampir kehilangan kepercayaan rakyatnya. Momen “proklamasi poligami Aa Gym” langsung dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengalihkan opini dan pemerintah berharap dengan perdebatan tentang poligami ini masyarakat melupakan opini sebelumnya terutama opini Bush. Ternyata harapan pemerintah itu tercapai meskipun tidak seratus persen. Opini masyarakat berubah namun kepercayaan belum sepenuhnya kembali.
Ketiga, awamnya masyarakat terhadap hukum Islam khususnya tentang poligami. Pandangan masyarakat tentang poligami ini sebenarnya telah terkooptasi oleh UU yang diterapkan pemerintah sejak lama. Aturan pemerintah yang membuat syarat-syarat yang irasional dan imajiner. Kalau mau poligami, syaratnya tetek bengek. Selain izin isteri tua dan atasan, juga isteri tua harus : (1) tidak mampu menjalanan tugas sebagai isteri, (2) berpenyakit permanen, (3) tidak berketurunan. Di bawah alam sadarnya masyarakat menganggap inilah hukum poligami menurut islam. Padahal aturan ini menurut Islam batil, karena al-Qur`an dan As-Sunnah saja tidak pernah menetapkan tiga syarat tadi.Banyaknya protes masyarakat terhadap poligami Aa Gym, menunjukkan masyarakat belum bisa bersikap dewasa dalam perspektif Islam. Sikap masyarakat yang mencemooh poligami menunjukkan seakan-akan masyarakat kita adalah kaum muallaf yang baru masuk Islam. Disisi lain kita prihatin melihat sambutan sebagian masyarakat Sidoarjo atas kedatangan pemain video mesum Maria Ulfa/Eva. Seperti diberitakan, Maria pulang ke kampung halamannya di Sidoarjo, Jawa Timur, untuk menghadiri acara reuni di SMAM (SMA Muhammadiyah) 2 Sidoarjo. Usai reuni, ME didaulat pengungsi bencana lumpur PT Lapindo Brantas, untuk menghibur mereka di Pasar Baru Porong.ME akhirnya menghibur anak-anak pengungsi dengan melantunkan sebuah lagu dangdut berjudul, “Aku Cinta Kamu.” Sebelum meninggalkan lokasi, ME sibuk melayani permintaan tandatangan dari anak-anak pengungsi. Menariknya, sebagaimana disampaikan ME, sambutan teman-teman dan mantan guru SMA-nya sangat hangat. Seolah kasus yang dilakukan ME bukan masalah serius. “Tidak ada masalah sama sekali, teman-teman dan guru-guru semua baik. Mereka melihat persoalan yang menimpa saya sekarang adalah murni resiko dunia entertainment,” ujarnya.(hidayatullah.com)
Kondisi masyarakat yang belum tahu kalau poligami itu halal, bukan haram. Ini jelas menunjukkan sangat rendahnya kesadaran masyarakat terhadap Islam khususnya dalam masalah poligami.
Empat, kekalahan dan keputusasaan kaum liberal (sekuler). Kekalahan yang dialami oleh orang-orang sekuler dalam kasus-kasus sebelumnya seperti RUU APP, menambah kebencian mereka pada slam dan kaum muslimin. Sampai-sampai mereka mendobrak pakem mereka sendiri yaitu larangan pemaksaan pendapat yang selalu mereka dengung-dengungkan dan mreka agungkan. Kegagalan mereka menawarkan ide-idenya mendorong mereka untuk menggunakan power (kekuasaan) untuk memaksakan ide-idenya. Sebagaimana yang dilakukan Dirjen Binmas Islam Nasarudin Umar, ketika mencela poligami dan bahkan main ancam kayak preman kepada para kyai dan ustadz, jelas ini fenomena pemanfaatan kekuasaan untuk memaksakan pandangan liberal kepada umat islam. Walau Nasarudin Umar berposisi sebagai Dirjen Bimas Islam, publik juga tahu posisinya sebagai penyambung lidah dan pikiran kelompok liberal. Walhasil, kaum liberal yang konon menabukan pemaksaan pendapat, kini tengah memperalat kekuasaan dan undang-undang guna memaksakan pendapatnya dengan paksaan yang sangat otoriter. Karena sanksi pidana akan dijatuhkan kepada orang Islam yang tidak setuju dengan paham liberal yang mengharamkan poligami.
Kelima, penolakan terhadap syariat Islam. Orang-orang liberal ingin menggiring kaum muslimin untuk mempertanyakan,menggugat lagi kebenran, keutuhan dan kesempuranaan Islam(al-Qur’an dan Hadits), sehingga menghasilkan kebencian dan pobhi terhadap Islam yang berujung pada penolakan terhadap Islam. Salah satu contoh pendapat Thaha Husayn tentang poligami: Poligami yang termaktub dalam QS.4:3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana disebutkan di atas. Pernyataan Thaha Husayn dalam bukunya Fi Syi’r al-Jâhili yang menggemparkan dunia Arab tahun 1920-an hingga dia dipecat sebagai dosen Universitas Kairo, bahwa Al Quran adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyyah (pra-Islam) (Dâr al-Ma’ârif, Tunisia, tt, h. 25-33). Fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang menguntungkan dan menyedihkan, dan Al Quran merekamnya melalui teks-teksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, Al Quran merekam praktik tersebut sebab poligami adalah realitas sosial masyarakat saat itu.
Oleh karenanya QS 4:3 harus dilihat sebagai ayat yang belum selesai, sebab Al Quran adalah produk sejarah yang tak bisa luput dari konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat Arab di Hijaz saat itu. Al Quran sesungguhnya respons Allah terhadap berbagai persoalan umat yang dihadapi Muhammad kala itu. Sebagai respons, tentu Al Quran menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu diisi budaya kelelakian yang dominan.
Untuk menurunkan ajaran etik, moral, maupun hukum, Al Quran membutuhkan waktu dan proses. Ambil contoh larangan meminum khamr, Al Quran membutuhkan waktu hingga tiga kali. Dalam masalah poligami pun demikian. Poligami hanya hukum yang berlaku sementara saja dan untuk tujuan tertentu saja, yaitu pada masa Nabi (lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran, Bandung: Pustaka, 1996, hlm 68-70). Al Quran membutuhkan waktu untuk mencapai tujuan yang sebenarnya yakni monogami.
Santernya opini poligami ini sebenarnya sama dengan opini jihad dan terorisme yang wajib diwaspadai oleh seluruh kaum muslimin. Bukan malah terjebak dalam perdebatan tentang kebolehan dan tidaknya, maupun syarat-syarat poligami, namun kaum muslimin harus mengetahui agenda tersembunyi kaum kafir dan antek-anteknya di balik opini ini. Sebagaimana hukum bolehnya poligami kewajiban hukum jihad sebenarnya sudah final dikalangan ulama kalaupun ada perdebatan hanya pada masalah-masalah cabang. Namun kewajiban jihad mereka usik dengan mengatakan jihad sama dengan terorisme, dengan memanfaatkan kejadian 11 september. Opini mereka mampu menggiring kaum muslimin dalam perdebatan yang tidak ada gunanya. Dan yang paling berbahaya adalah opini mengarah pada kebencian atau phobi pada Islam. Opini poligami yang sekarang berkembang memiliki tujuan yang sama dengan opini terorisme yang mereka kembangkan ketika itu sampai sekarang. Tujuan jangka pendek mereka adalah menggugat kebenaran, keutuhan dan kesempurnaan Islam, setelah itu membuat masyarakat benci pada Islam dan akhirnya tujuan jangka panjang mereka adalah penolakan terhadap Islam.
Maha Benar Allah yang berfirman dalam surat ali-Imran:118:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.(TQS.ali-Imran:118)
Sungguh kebencian orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum muslimin sangat besar dan tidak akan padam sebelum Islam hina dan kaum meninggalkan agamanya. Namun yakinlah bahwa Allah akan menjaga dan meniggikan agamaNya melalui hamba-hambanya yang mukhlis dan berjuang untuk kemulian Islam dan Kaum Muslimin untuk mendapatkan ridha da jannahNya.
Wallahu a’lamu bish-showab
Read Full Post »