Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Juli, 2018

A’rab dan ‘Arab

Yai Muhammad Arman:

PERTAMA , para Ulama sepakat bhw mengenai pengertian dari Al-A’RAB yaitu orang-orang Arab Badui yang tinggal di sahara tanah Arab yang berkebiasaan berpindah-2 tempat dengan menaiki sekedup di atas punggung onta , sedangkan AL-ARAB adalah orang-2 Arab yg tinggal di kota atau perkampungan atau pedesaan Arab …

فمن نزل البادية أو جاور البادين وظعن بظعنهم وانتوى بانتوائهم فهم أعراب ، ومن نزل بلاد الريف واستوطن المدن والقرى العربية وغيرها ممن ينتمي إلى العرب فهم عرب

KEDUA , watak dan karakter orang A’RAB ( Arab Badui ) adalah kasar dan angkuh , sedangkan orang ARAB ( Arab Madani ) terkenal dgn kehalusan pekertinya dan kefasihan bicaranya …

Karena tabiat orang Arab Badui yang kasar dan kurang berpekerti inilah maka Allah tidak mengutus seorang Rasul yg berasal dari kalangan mereka , sbgmn dijelaskan oleh uraian tafsir berikut ini :

ولما كانت الغلظة والجفاء في أهل البوادي لم يبعث الله منهم رسولا وإنما كانت البعثة من أهل القرى ، كما قال تعالى : ( وما أرسلنا من قبلك إلا رجالا نوحي إليهم من أهل القرى ) [ يوسف : 109 ] ولما أهدى ذلك الأعرابي تلك الهدية لرسول الله صلى الله عليه وسلم فرد عليه أضعافها حتى رضي ، قال : ” لقد هممت ألا أقبل هدية إلا من قرشي ، أو ثقفي أو أنصاري ، أو دوسي ” ؛ لأن هؤلاء كانوا يسكنون المدن : مكة ، والطائف ، والمدينة ، واليمن ، فهم ألطف أخلاقا من الأعراب : لما في طباع الأعراب من الجفاء

KETIGA, tidak diperkenankan utk menyebut orang ARAB sebagai A’RAB terlebih thd orang Arab dari kalangan Muhajirin dan Anshor , mengingat kelemahan dlm hal iman yg ada pada diri A’RAB dimana karena kelemahan ini mereka tidak diterima syahadat kesaksiannya dan tidak diperkenankan menjadi imam dlm jamaah sholat bersama orang kaum muslimin dari kalangan ARAB …

والثاني : أنه لا يجوز أن يقال : للمهاجرين والأنصار أعراب ، إنما هم عرب ، وهم متقدمون في مراتب الدين على الأعراب . قال عليه السلام : ” لا تؤمن امرأة رجلا ولا فاسق مؤمنا ولا أعرابي مهاجرا

وثانيها : إسقاط شهادة أهل البادية عن الحاضرة ; لما في ذلك من تحقق التهمة

وثالثها : أن إمامتهم بأهل الحاضرة ممنوعة لجهلهم بالسنة وتركهم الجمعة

KEEMPAT, Allah meninggikan martabat orang ARAB dengan Sabda Rasul-Nya SAW : ” حب العرب من الإيمان ” ( Mencintai Arab sebagian dari iman ) , sedangkan terhadap orang A’RAB secara tegas mengecam mereka dengan ayat At-Taubah 97 berikut ini :

الأعراب أشد كفرا ونفاقا وأجدر ألا يعلموا حدود ما أنزل الله على رسوله والله عليم حكيم

وقول الله عز وجل : قالت الأعراب آمنا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ، فهؤلاء قوم من بوادي العرب قدموا على النبي صلى الله عليه وسلم المدينة طمعا في الصدقات لا رغبة في الإسلام فسماهم الله تعالى الأعراب ، ومثلهم الذين ذكرهم في سورة التوبة ، فقال : الأعراب أشد كفرا ونفاقا الآية

KELIMA , orang yang tidak bisa membedakan antara Al-‘ARAB dengan Al-A’RAB, atau antara AL-‘ARABY dengan Al-A’RABY, sangat boleh jadi akan mengalami kekeliruan fatal dalam memahami ayat Al-Quran Surat At-Taubah 97 yang mengecam hal-ihwal kaum Arab Badui ( Al-A’rab ), dikarenakan karena kebodohan orang itu akan perbedaan keduanya …

قال الأزهري : والذي لا يفرق بين العرب والأعراب والعربي والأعرابي ربما تحامل على العرب بما يتأوله في هذه الآية ، وهو لا يميز بين العرب والأعراب

Read Full Post »

File Penting!!
Naskah Asli UN SMP 10 Tahun Terakhir

Mengingat kabar yg beredar bahwa Tahun 2019, UN sebagai penentu kelulusan, tentunya perlu persiapan yg matang untuk menghadapinya, sementara pelaksanaan UNBK mengakibatkan Naskah Soal UN menjadi “Barang” yg langka,

2018 : https://goo.gl/z1RZur
2017 : https://goo.gl/GG7vHt
2016 : https://goo.gl/oZJjFf
2015 : https://goo.gl/xxQMEG
2014 : https://goo.gl/ATUKCK
2013 : https://goo.gl/cDYMjN
2012 : https://goo.gl/kSEfj5
2011 : https://goo.gl/ZS5sSc
2010 : https://goo.gl/fJnDHp
2009 : https://goo.gl/b42XCC

Silakan share, semoga bermanfaat

Read Full Post »

Islam Nusantara

Khitah Islam Nusantara

Oleh Kyai Haji Ma’ruf Amin
.
Akhir-akhir ini Islam Nusantara jadi wacana publik. Tak hanya di kalangan warga Nahdlatul Ulama (nahdliyin), tetapi seluruh masyarakat Indonesia ikut memperbincangkannya.
Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam Nusantara adalah hal baru. Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di dalam organisasi ini, pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh negeri. Karena itu, bentuk apresiasi publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi negeri ini.

Sebagai tema Muktamar NU 2015 di Jombang, Islam Nusantara memang baru dideklarasikan. Namun, sebagai pemikiran, gerakan, dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita. Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah. Mengapa di sini perlu penyifatan al-Nahdliyyah? Jawabnya adalah karena banyak kalangan lain di luar NU yang juga mengklaim sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah (disingkat Aswaja), tetapi memiliki cara pikir, gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.

Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pun mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah, tetapi sepak terjang mereka selama ini sangat ditentang NU. Karena itu, Islam Nusantara adalah cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan para mua’sis (pendiri) dan ulama NU. Islam Nusantara adalah cara proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an. Karakteristik-karakteristik ini bersifat peneguhan identitas yang distingtif, tetapi demokratis, toleran, dan moderat.

Tiga pilar

Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).

Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika “al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.

Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jemaah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.

Pilar ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi. Dengan cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan ‘urf atau ‘ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua.

Penanda Islam Nusantara

Ada lima penanda Islam Nusantara. Pertama, reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan para nahdliyin selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya, selalu ada perkembangan di sana (tatwir al-fikrah), dan karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak kelewat batas.

Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan.

Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, nahdliyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain (lã ijbãriyyah). Artinya, orang NU harus memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara internal, warga NU juga tak boleh bersikap fatalistik (jabbãriyyah), harus senantiasa berusaha dan berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara di atas. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa.

Keempat, santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan.

Kelima, tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian warga NU adalah sepakat untuk tidak sepakat.

Secara konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan selama tidak menimbulkan konflik. Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional.

Ijtihad

Hal penting lain yang ingin penulis sampaikan adalah persoalan ijtihad. Apakah model ijtihad Islam Nusantara? Ijtihad Islam Nusantara adalah ijtihad yang selama ini dipraktikkan oleh NU. Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang bersifat tekstual, tetapi juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tak ada di dalam teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak dicarikan jawaban.

Islam Nusantara tidak berhenti di sini, tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat mekanisme-mekanisme pengambilan hukum yang disepakati di kalangan nahdliyin. Hasil dari mekanisme metodologi hukum ini (proses istinbãt al-hukm) harus dibaca lagi dari perspektif Al Quran dan Sunah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai nahdliyin di sini misalnya adalahmaãlahah (kebaikan).

Ilustrasinya, jika sebuah amalan tak ada di rujukan tekstualnya, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal itu justru harus dilestarikan: “idhã wujida nasssS fathamma masslahah, idhã wujida al-maslahah fathamma shar’ al-Lãh—jika ditemukan teks, maka di sana ada kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan, maka di sana adalah hukum Allah”. Ini uraian singkat dan pokoknya saja. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang yang lebih luas.

Pada akhir tulisan pendek ini saya ingin mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa agar tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan justru terjadi.

#IslamNusantara

Read Full Post »

*ANALISIS ISTILAH “FIHI NAZHAR” IMAM AL-BUKHARIY*
_(Studi Kasus Rawi Habib bin Salim dalam Hadits Bisyarah Nabawiyah tentang Khilafah)_

_Oleh: Yuana Ryan Tresna_

Lagi, ada yang bertanya tentang perkataan Imam al-Bukhariy: “fihi nazhar”. Sebenarnya sudah sering menjawab soalan ini, tetapi penanya ini sedikit berbeda, karena menghadirkan berbagai bukti bahwa rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhariy sudah pasti dhaif. Untuk itulah catatan singkat ini dibuat.

Memang benar, pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari Imam al-Bukhariy. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakan kedhaifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.

Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinanya. Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa memutlakan kedhaifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhariy tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.

“Fihi nazhar” seperti ungkapan hipotesis dari seorang peneliti, bahwa rawi ini perlu diperhatikan atau diteliti lebih lanjut. Tetapi yang jelas, Imam al-Bukhariy tidak sedang menunjukkan ta’dil dengan ungkapan tsb., melainkan jarh ringan yang masih membuka ruang interpretasi para nuqad. Termasuk potensi jarh syadid bahkan ta’dil, ketika pada tempat lain Imam al-Bukhariy menerimanya.

Ada yang mengajukan pendapat bahwa ungkapan “fihi nazhar” bermakna pertengahan. Dia menunjukkan ungkapan al-Hafizh Ibnu Hajar saat membahas Abu Balj di kitab Badzlu al-Ma’un fi Fadhli al-Tha’un hlm. 117:

وقال البخاري فيه نظر وهذه عبارته فيمن يكون وسطا

Menurutnya, penilaian imam al-Bukhariy “fihi nazhar” untuk Abu Balj bukan jarh yang sifatnya menjatuhkan. Namun bermakna bahwa Imam al-Bukhariy memiliki sedikit keraguan terhadapnya. Bisa jadi Imam al-Bukhariy menilai Abu Balj shaduq, namun ada sedikit keraguan terhadapnya.

Qarinahnya, Imam al-Bukhariy berhujjah dengan keterangan Abu Balj saat membahas rawi lain. Dalam biografi Muhammad bin Hatib al-Qurasyi di Tarikh al-Kabir (1/18), Imam al-Bukhariy berhujjah dengan ini:

…حَدَّثَنَا أَبُو بلج قَالَ لنا مُحَمَّد بْن حاطب ولدت فِي الهجرة الأولى بالحبشة.

Hanya saja, saya sedikit keberatan ketika dikatakan bahwa asal dari istilah “fihi nazhar” itu adalah pertengahan jarh dan ta’dil. Dengan alasan: (1) Itu sangat kasuistik tergantung rawi yang ditelitinya; (2) makna pertengahan adalah interpretasi al-Hafizh Ibnu Hajar pada kasus tertentu. Adapun interpretasi ulama lainnya berbeda; (3) adanya penjelasan langsung dari Imam al-Bukhariy tentang “fihi nazhar”.

Berikut ini adalah penjelasan Imam al-Bukhariy terhadap istilah “fihi nazhar”:

1. Dalam kitab Tahdzib al-Kamal (hlm. 544), al-Mizzi menyebutkan:

قال الحافظ أبو محمد عبد الله ابن أحمد بن سعيد بن يربوع الإشبيلي: قال البخاري في التاريخ : كل من لم أبين فيه جرحة فهو على الاحتمال، وإذا قلت فيه نظر فلا يحتمل.

Secara jelas Imam al-Bukhariy menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh (لا يحتمل).

2. Imam al-Bukhariy menyebutkan dalam biografi Suwaid bin Abdul Aziz bin Numair al-Sulamiy Abi Muhammad al-Dimasqiy (al-Dhu’afa al-Shaghir, hlm. 57; lihat Tahdzib al-Tahdzib, 4/242):

فيه نظر لا يحتمل

Imam al-Bukhariy menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh (لا يحتمل) sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.

3. Al-Khathib al-Baghdadiy (Tarikh Baghdad, 2/25; lihat Taghliq al-Ta’liq, 2/10; dan al-Hady, 481) dengan sanad kepada Abu Ja’far Muhammad bin Abi Hatim, bahwasannya dia berkata: Muhammad bin Ismail (al-Bukhariy) ditanya tentang informasi suatu hadits, maka al-Bukhariy berkata:

يا أبا فلان! تراني أدلس وقد تركت عشرة آلاف حديث لرجل فيه نظر، وتركت مثلها أو أكثر منها لغيره لي فيه نظر.

Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa beliau meninggalkan hadits yang di dalamnya ada rawi yg dinilai “fihi nazhar”.

Dengan demikian, dugaan awal atau hipotesis dari ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan. “Fihi nazhar” ini masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhariy sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adiy, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya.

Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.

Istilah yang tercakup dalam bahasan فيه نظر diantaranya adalah:

في حديثه نظر، في إسناده نظر، منكر الحديث فيه نظر، فيه بعض نظر، في صحته نظر، إسناده فيه نظر، في إسناده نظر فيما يرويه، في يعض حديثه نظر، في حفظه نظر، الخ…

Para muhaddits dan para nuqad telah meneliti persoalan ini. Mereka tidak satu suara dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar” atau istilah yang semisalnya oleh Imam al-Bukhariy.

Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhariy. Ini baru yang “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”. Untuk contoh, dalam hadits bisyarah nabawiyah “khilafah ‘ala minhaj al-nubuwah”, ada rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir. Dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhariy, 2/2606), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 2/66) dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adiy, 2/405), Imam al-Bukhariy menilainya “fihi nazhar”.

Imam Ibnu Adiy menilai Habib bin Salim munkar dan idhthirab dalam sanad, tetapi Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”. (Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; al-Tsiqat, 4/138; al-Kamil, 2/405; al-Taqrib, 1/151). Imam Muslim menggunakan dalam hadits cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi meriwayatkannya. Demikian juga kalau kita ambil contoh rawi yang lainnya.

Informasi tambahan yang cukup berharga ketika saya berdiskusi di media sosial dengan seorang penelaah adalah bahwa meski Habib bin Salim dinilai “fihi nazhar”, namun Imam al-Bukhariy menilai shahih riwayat Habib bin Salim di ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152,

حَدَّثَنا قتيبة ، حَدَّثَنا أبو عوانة عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر ، عَن أَبِيه عن حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيدين والجمعة ب {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى} و {هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ} وربما اجتمعا في يوم فيقرأ بهما

سَألْتُ مُحَمدًا عن هذا الحديث ، فقال : هو حديث صحيح وكان ابن عيينة يروي هذا الحديث عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر فيضطرب في روايته قال مرة حبيب بن سالم ، عَن أَبِيه عن النعمان بن بشير وهو وهم والصحيح حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير

Indikasi lainnya, meski Habib bin Salim dinilai “fihi nazhar”, tapi imam al-Bukhariy berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365), al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim:

قَالَ حبيب بْن سالم يزيد بن أصحاب عُمَر بْن عَبْد العزيز

Demikian juga kalau memperhatikan penilaian para imam nuqad mutaqaddimin, semisal Imam Yahya bin Ma’in, Abu Hatim al-Razi dan Ibnu Adiy, ketiganya selalu berbeda dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar”. Mulai dari kadzdzab, munkar, syaikh, shalih, la ba’sa bihi, hingga tsiqah. Jadi sekali lagi, jangan tergesa-gesa.

Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhariy ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhariy (Fihi Nazhar), hlm. 621-644.

Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha adalah bahwa penilaian dhaif dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai hujjah.

Bagi para pengkaji, ini (jarh dan ta’dil) salah satu medan penelitian yang sangat penting. Kita bisa meneliti, membandingkan dan mengambil suatu kesimpulan. Saya pernah contohkan analisis model ini (tarjih antara jarh dan ta’dil) dalam kasus hadits puasa Syawal. Berdasarkan tingkat akurasi dan kedalaman kajiannya, saya mengedepankan yang menta’dil dari pada yang mentajrih.

Dalam menilai rawi Habib bin Salim misalnya, para ulama tidak satu suara. Tetapi sebagian besar menerimanya. Bahkan para ulama hadits telah menerima hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim, termasuk hadits bisyarah nabawiyah sebagaimana disebutkan di atas. []

Read Full Post »